BSA9TfAoBUO9BSC7BSd8GfY8Td==

Mencegah ”Crowding Out Effect” dalam Proyek Strategis Nasional


Jakarta, Kabar-Merdeka.com -
Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait potensi terjadinya crowding out effect dalam investasi proyek Badan Pengelola Investasi Danantara menjadi pengingat penting dalam desain pembangunan nasional.

Ketika negara mengambil peran terlalu dominan dalam pendanaan proyek strategis nasional (PSN), ruang gerak sektor swasta bisa tergerus serta berujung pada ekosistem investasi yang tak sehat dan tak berkelanjutan. Benarkah demikian?

Danantara sebagai entitas pengelola PSN dirancang untuk mempercepat proyek-proyek lintas sektor yang dianggap vital bagi transformasi ekonomi nasional. Ia ditugaskan mengelola proyek besar yang mencakup infrastruktur dasar, konektivitas digital, hilirisasi, dan penguatan kawasan industri strategis. Namun, fleksibilitas yang besar itu mengandung risiko apabila tak disertai mekanisme kontrol dan partisipasi sektor nonpemerintah yang proporsional.

Efek crowding out terjadi saat pembiayaan dan pelaksanaan proyek pembangunan terlalu bergantung pada dana publik, baik melalui APBN maupun BUMN. Ketika pemerintah menyerap sebagian besar ruang finansial dan infrastruktur eksekusi, insentif sektor swasta untuk terlibat pun berkurang.

Dalam jangka panjang, hal ini bisa menurunkan efisiensi pembangunan dan membebani fiskal negara.

Risiko crowding out tidak hanya mengancam iklim investasi swasta, tetapi juga menimbulkan tekanan serius terhadap keuangan negara. Ketika pemerintah terlalu bergantung pada penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) untuk membiayai proyek strategis, utang negara berisiko membengkak.

Hingga Mei 2025, total utang pemerintah tercatat mencapai Rp 8.311,6 triliun, dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,2 persen. Sekitar 88 persen dari total utang tersebut berasal dari SBN, menunjukkan dominasi pembiayaan berbasis utang di dalam struktur fiskal nasional.

Dari total kebutuhan investasi PSN sebesar lebih dari Rp 6.000 triliun untuk periode 2020-2024, porsi pembiayaan swasta baru mencakup kurang dari separuhnya. Selebihnya masih ditanggung oleh negara melalui APBN dan penyertaan modal negara. Selain itu, sebagian besar proyek PSN masih dikerjakan oleh BUMN atau konsorsium dengan dominasi aktor negara, sementara proyek yang benar-benar dibuka bagi swasta masih terbatas.

Jika pola pengelolaan PSN ini berlanjut, risiko crowding out semakin besar. Sektor swasta akan melihat proyek sebagai ruang eksklusif negara, bukan peluang yang layak untuk dimasuki dengan prinsip bisnis dan inovasi.

Pola Kolaboratif

Negara-negara yang berhasil mengelola proyek strategis nasional dengan keberimbangan pembiayaan publik dan swasta menerapkan pola kolaboratif sejak perencanaan.

Korea Selatan, misalnya, dalam proyek pengembangan smart city dan infrastruktur strategis, memosisikan negara sebagai penyedia stimulus awal, sementara eksekusinya dilakukan oleh swasta. Ini menciptakan efisiensi dan mempercepat skala pembangunan.

Sebaliknya, di negara-negara dengan dominasi aktor negara, seperti yang terjadi dalam sebagian besar proyek infrastruktur di China, keterlibatan sektor swasta nonpemerintah sering kali hanya formalitas. Hal ini justru berujung pada stagnasi investasi swasta dan pembengkakan biaya proyek.

Indonesia perlu mengambil pelajaran bahwa negara tidak bisa dan tidak harus mengerjakan semua. Peran negara adalah membangun sistem dan kepercayaan, bukan menjadi pelaksana tunggal. Untuk mencegah efek crowding out, pemerintah perlu menguatkan strategi yang menyeimbangkan peran negara dan sektor swasta secara proporsional.

Beberapa langkah penting antara lain, pertama, segmentasi proyek berdasarkan risiko dan komersialitas. Proyek-proyek yang memiliki potensi pendapatan jangka panjang atau berbasis pasar dapat ditawarkan ke swasta dengan skema kemitraan penuh. Negara cukup hadir sebagai penjamin atau fasilitator.

Kedua, penguatan pusat persiapan proyek. Banyak calon investor urung terlibat karena studi kelayakan dan informasi awal dinilai belum memadai. Pemerintah harus membangun pipeline proyek lengkap dengan kajian teknis, risiko, dan potensi imbal hasil.

Ketiga, skema kemitraan yang adil dan transparan. Skema public-private partnership (PPP) harus dikembangkan tidak hanya dalam format hukum, tetapi juga dalam semangat kolaborasi. Proses tender perlu terbuka, adil, dan memberi ruang luas bagi swasta domestik ataupun asing.

Keempat, pelibatan Lembaga Investasi Indonesia (INA). INA dapat berperan sebagai kurator PSN yang layak dibiayai oleh investor global. INA juga dapat menjadi jembatan antara logika fiskal negara dan disiplin pasar internasional.

Kelima, insentif fiskal dan regulasi pro-investasi. Pemerintah dapat memperkuat daya tarik investasi melalui insentif pajak, kemudahan perizinan, serta jaminan risiko tertentu untuk proyek-proyek strategis yang bernilai tinggi, tetapi menantang dari sisi pembiayaan awal.

Pembangunan nasional membutuhkan pendekatan kolaboratif yang menjunjung keterbukaan dan efisiensi. Keberhasilan PSN tidak diukur dari seberapa besar dana publik yang digelontorkan, tetapi dari seberapa luas dan sehat partisipasi sektor swasta yang dapat ditumbuhkan.

Dengan pendekatan yang tepat, negara bisa menghindari jebakan crowding out dan justru menciptakan crowding in di mana kehadiran pemerintah menjadi pemicu aktif keterlibatan swasta. Peran Danantara sangat strategis menjadi platform kolaboratif investasi strategis nasional yang inklusif, efisien, dan berorientasi jangka panjang.

Katalis Partisipasi Swasta

Meski demikian, risiko crowding out tidak bersifat absolut. Dalam banyak proyek strategis, seperti pembangunan ekosistem baterai kendaraan listrik dan hilirisasi mineral, justru terlihat sinergi erat antara negara, Danantara, BUMN, dan sektor swasta.

Ini menunjukkan bahwa kehadiran negara dan Danantara tidak serta-merta meminggirkan swasta, tetapi dapat menjadi katalis partisipasi swasta melalui model kolaboratif.

Di sisi lain, kapasitas fiskal negara juga memiliki batas. Dengan alokasi belanja negara yang terbatas dan utang yang harus dijaga, keterlibatan swasta bukan hanya pilihan, melainkan kebutuhan struktural agar proyek-proyek strategis tetap berkelanjutan tanpa membebani anggaran.

Setiawan Budi Utomo, Direktur Otoritas Jasa Keuangan


Versi cetak artikel ini terbit di harian

Comments0

Type above and press Enter to search.