Jakarta, Kabar-Merdeka.com - Di tengah derasnya gelombang revisi undang-undang yang berlangsung beberapa tahun terakhir, pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP menjadi salah satu penanda penting arah reformasi hukum di Indonesia.
Pembaruan terhadap kitab hukum acara ini semestinya menjadi langkah strategis untuk memperkuat sistem peradilan pidana nasional, terutama dalam menjamin keadilan prosedural dan perlindungan hak-hak warga negara berhadapan dengan hukum.
Namun, sejak proses legislasi dimulai, yang muncul justru kecenderungan tarik-menarik kewenangan antarlembaga penegak hukum. Sorotan tajam tertuju pada isu kewenangan penyidikan yang lebih banyak berbicara tentang siapa yang berwenang melakukan penyidikan, bukan bagaimana penyidikan seharusnya dilakukan secara profesional, transparan, dan menghormati hak asasi manusia (HAM).
Arah pembaruan pun tampak terjebak dalam pendekatan prosedural semata alih-alih menyentuh substansi reformasi yang lebih mendalam.
Kewenangan Penyidikan
Dalam sistem hukum acara pidana yang berlaku saat ini, kewenangan penyidikan merupakan domain utama Kepolisian Negara RI. Namun, pada jenis kejahatan tertentu, seperti tindak pidana korupsi, Kejaksaan RI juga diberi wewenang untuk melakukan penyidikan.
Kewenangan ini telah berkontribusi pada meningkatnya kinerja Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi selama beberapa tahun terakhir. Sejumlah kasus besar dapat diungkap, mulai dari skandal PT Asabri hingga megakorupsi PT Timah Tbk, dengan kerugian negara bahkan melampaui perkara-perkara yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mencuatnya perdebatan dalam RUU KUHAP tentang perlu tidaknya memperluas kewenangan penyidikan kepada Kejaksaan mencerminkan bahwa pembahasan belum diarahkan untuk memperbaiki sistem secara menyeluruh.
Fokus utama masih berkisar pada pertanyaan ”siapa yang berwenang”, bukan ”bagaimana kewenangan itu dijalankan”. Padahal, persoalan paling krusial dalam praktik penyidikan di Indonesia adalah lemahnya akuntabilitas dan pengawasan terhadap pelaksanaannya.
Berbagai laporan menunjukkan bahwa kekerasan, penyiksaan, pemaksaan pengakuan, hingga rekayasa perkara masih kerap terjadi dalam penyidikan. Sebagaimana diungkapkan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), berbagai kasus penyiksaan oleh polisi dalam penyidikan terus terjadi secara berulang.
Misalnya, kasus Sarpan di Polsek Percut Sei Tuan, Sumatera Utara, yang disiksa dan dianiaya pada Juni 2020. Berstatus sebagai saksi, bukan tersangka, Sarpan keluar dari kantor polisi dengan tubuh penuh lebam dan luka.
Ada pula kasus yang dialami RF, seorang terduga pelaku pencurian dari Ketapang, Kalimantan Barat. Pada 25 Januari 2024, RF diantar pulang oleh polisi ke rumah orangtuanya dalam keadaan tak bernyawa. Sehari sebelumnya, RF dijemput dari rumah tanpa sepengetahuan orangtua ataupun kerabat. Jenazah RF penuh dengan luka lebam dan tanda-tanda penganiayaan.
Pertengahan Juli 2023, seorang warga Banyumas berinisial OK juga dikembalikan ke rumah keluarganya dalam keadaan tak bernyawa. Kasus yang menimpa OK ini menyebabkan empat anggota Polri yang terbukti melakukan penganiayaan dijatuhi vonis 7-8 tahun penjara oleh majelis hakim.
Berbagai kasus tersebut menandakan bahwa problem utamanya bukan soal kelembagaan, melainkan cara kerja dan nilai yang mendasari pelaksanaan penyidikan. Dalam hal ini, memindahkan atau memperluas kewenangan tidak serta-merta menjamin adanya perbaikan.
Selama mekanisme pengawasan internal dan eksternal tidak diperkuat serta selama tak ada upaya sistematis untuk membangun profesionalisme dan budaya menghormati HAM di tubuh aparat penegak hukum, praktik penyidikan yang represif akan terus terjadi—siapa pun pelaksananya.
Sayangnya, arah pembahasan RUU KUHAP sejauh ini lebih menyerupai panggung tarik-ulur kepentingan kelembagaan ketimbang ruang pembaruan sistem hukum pidana. Perdebatan berhenti pada ranah institusional, tanpa menyentuh aspek mendasar, seperti transparansi penyidikan, perlindungan hak tersangka, serta pelibatan lembaga independen dalam pengawasan.
Kelayakan pembaruan KUHAP perlu dilihat bukan hanya dari perubahan yang drastis, melainkan juga apakah perubahan itu bisa memperbaiki kualitas penegakan hukum pidana
Partisipasi Publik Terpinggirkan
Tidak hanya soal substansi, proses legislasi RUU KUHAP juga menimbulkan keprihatinan dari sisi tata kelola demokrasi. Salah satu catatan kritis adalah minimnya partisipasi publik yang bermakna. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XXIII/2020 telah menegaskan pentingnya meaningful participation dalam pembentukan UU.
Partisipasi ini harus memenuhi tiga unsur utama: hak untuk didengar (right to be heard), hak agar pendapat dipertimbangkan (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atas pendapat yang disampaikan (right to be explained). Namun, pembahasan RUU KUHAP justru memperlihatkan kecenderungan eksklusif.
Kalangan masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi advokasi hukum mengeluhkan minimnya akses terhadap draf terbaru, terbatasnya forum dialog substantif, dan tidak adanya mekanisme untuk menindaklanjuti masukan publik secara sistematis.
Sebagian pejabat pemerintah dan anggota parlemen mungkin berdalih bahwa ruang konsultasi telah dibuka melalui rapat dengar pendapat umum atau seminar. Akan tetapi, tanpa mekanisme yang menjamin bahwa masukan benar-benar diperhitungkan dan dijawab, partisipasi tersebut hanya menjadi formalitas prosedural.
Padahal, legitimasi UU tak cukup dibangun dengan prosedur yang tertib, tetapi juga dari penghargaan atas aspirasi publik. Masyarakat tak menuntut seluruh masukan mereka diakomodasi. Mereka hanya berharap agar pendapat yang disampaikan dianggap penting dan jika tidak diterima, ada penjelasan yang transparan. Praktik inilah yang akan memperkuat kepercayaan publik terhadap proses legislasi dan mencegah konflik hukum di kemudian hari.
Menjaga Roh Reformasi
RUU KUHAP tidak bisa hanya dipandang sebagai revisi teknis terhadap tata cara beracara di pengadilan. Ia merupakan cerminan cara negara memperlakukan warganya yang berhadapan dengan sistem hukum. Apakah perlindungan terhadap hak-hak dasar dijamin? Apakah penyidikan dilakukan tanpa intimidasi dan kekerasan? Apakah negara sungguh-sungguh membangun sistem peradilan yang beradab?
Reformasi hukum acara pidana harus dimulai dari evaluasi menyeluruh terhadap praktik penyidikan, dari tingkat Kepolisian hingga Kejaksaan, termasuk peran pengadilan. Sistem penyidikan yang ideal adalah yang transparan, profesional, akuntabel, dan bebas dari praktik kekerasan. Untuk mencapainya, pembaruan regulasi harus berpihak pada korban penyalahgunaan kekuasaan, bukan sekadar memperkuat posisi kelembagaan penegak hukum.
Lebih dari itu, pembentuk UU perlu menyadari bahwa kepercayaan publik terhadap sistem hukum tidak dibangun dalam ruang tertutup. Tanpa transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi, RUU KUHAP hanya akan menjadi regulasi baru yang lahir tanpa jiwa, jauh dari roh keadilan yang seharusnya menjadi inti hukum acara pidana.
Antoni Putra, Dosen di Fakultas Hukum Universitas Andalas
Comments0